Franchekiss
IndoForum Newbie E
- No. Urut
- 103951
- Sejak
- 1 Sep 2010
- Pesan
- 45
- Nilai reaksi
- 1
- Poin
- 8
"Prolog"
Beberapa Kontroversi
Sejauh ini masih banyak yang mempertanyakan, dalam Buddhis itu tuhannya yang mana, bagaimana pula karakteristiknya. Mengapa pula dalam sutta-sutta ataupun ceramah Dhamma konsep tentang tuhan ini sangat jarang disinggung. Bagaimana sesungguhnya konsep mengenai Tuhan dalam Agama Buddha? Mengapa perlu membahas tentang konsep ini?
Menurut ahli-ahli di luar negeri, dikatakan bahwa agama Buddha dimasukkan sebagai agama yang Agnostik dan tidak mengenal tuhan pencipta. Selain itu, menurut para Atheis, dikatakan bahwa Buddhisme tidak bisa disebut sebagai agama karena tidak adanya tuhan dan segala macamnya, namun lebih cenderung ke filosofi. Sedangkan menurut historisnya, dikatakan bahwa di Indonesia, Walubi terpaksa menggunakan sebutan Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan dalam agama Buddha karena tekanan dari pemerintah.
jika kita berangkat dari perspektif netral. Tuduhan yang tidak bisa dibuktikan hanyalah berupa Fitnah belaka alias Klaim sepihak.
Sama halnya ketika umat Islam tidak bisa membuktikan lokasi dimana 'Injil yang asli' berada sebelum dipalsukan oleh Pengikutnya.
Ijinkan saya membagi sudut pandang saya,..... yang Sebelumnya
Agama yang ideal adalah agama yang logis, bisa dinalar dengan akal. Iman adalah awalnya…Pencarian dengan hati dan pikiran kemudiannya, untuk menambah ketebalan iman yang tadinya hanya diyakininya…. Agama ideal adalah agama dengan bukti-bukti kongkrit…
Sudut pandang saya saat ini.
Idealnya, IMAN bukan “awal”, tetapi “HASIL”.
Jika anda meletakkan “iman” di awal, sebagai permulaan, maka hasilnya adalah pembenaran. Dan inilah yang sering terjadi. “Iman” seperti tidak mau kalah dan salah. Maunya benar melulu, dan para penganutnya kerap kali melakukan standar ganda untuk mempertahankan keimanannya.
Jika anda meletakkan “iman” di awal, maka: apa yang menjadi dasar iman anda? Ini pertanyaan fundamental yang serius.
Yang benar itu: “iman” adalah hasil, letaknya di ujung.
Yang disebut dasar berpikir itu adalah: analisa terhadap realita. Inilah yang kemudian “diolah” sehingga ujung-ujungnya menghasilkan “iman” (atau tidak beriman) terhadap teologi tertentu (tergantung bagaimana “proses”-nya). Itu adalah alur pikir yang valid.
Bukan iman dulu, terus dicari-cari pembenarannya! Itu mah alur pikir orang awam!!!
Ok, sekarang kita masuk pokok bahasan Tuhan.
Jika bicara “Tuhan”, kita harus pahami dulu, di mana posisi pemahaman kita mengenai Tuhan, supaya tidak campur aduk. Apakah berada di wilayah “tuhan falsafati” atau “tuhan normatif”.
Yang saya maksud “tuhan falsafati” adalah tuhan dalam kerangka penalaran filsafat yang bersifat umum (general), logis (beralasan), dan “bebas nilai” (objektif). Filsafat tidak mengharuskan orang untuk percaya atau tidak percaya terhadap tuhan. Tuhan falsafati tidak membutuhkan “iman” sebagai modal untuk menerimanya, melainkan penalaran atau pemahaman. Tuhan falsafati tidak ada urusannya dengan apakah tuhan menyukai kebaikan atau tidak, atau kebaikan macam apa yang disukai tuhan.
Sedangkan “tuhan normatif” adalah tuhan dalam kerangka keimanan (teologi) tertentu yang bersifat “khas”.
Sebagai contoh: Agama Islam dan Kristen memiliki “tuhan normatif” yang berbeda. “Tuhan normatif” cenderung dipengaruhi nilai-nilai tertentu, seperti nilai-nilai kebajikan, kesusilaan, dan sebagainya yang dianut oleh subjek (manusia). Sehingga sah-sah saja ketika teologi tertentu mengatakan bahwa tuhan menyukai kebaikan dan membenci kejahatan, atau berbicara mengenai kebaikan macam apa yang disukai tuhan (di sini tuhan terlihat antropomorfis/ berpribadi, di mana tuhan menjadi subjek yang memiliki penilaian baik-buruk terhadap sesuatu). (karena pada dasarnya manusia itu mempunyai “norma”, maka manusia cenderung “menciptakan” tuhan yang “pro” dengan norma-norma mereka. Contoh sederhana, tuhan agama-agama semit cenderung “lelaki” karena lahir dalam budaya yang patriarkhis) .
Penjabaran Konsep Tuhan dalam agama samawi sebagai The Creator Of All
Tuhan Pencipta –The Creator- yang dimaksud itu adalah sosok makhluk tinggi yang maha kuasa dan maha pencipta, yang berpribadi, yang mengatur macem-macem
Terhadap pandangan ini, Sakyamuni Buddha bersabda,
“Jadi, karena diciptakan oleh seorang Tuhan yang maha tinggi, maka manusia bisa menjadi pembunuh, pencuri,
penjahat, pembohong, pemfitnah, penghina, pembual, pencemburu, pendendam dan orang yang keras kepala.
Oleh karena bagi mereka yang berpandangan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan seorang Tuhan, maka
mereka tidak akan lagi mempunyai keinginan, ikhtiar ataupun untuk menghindar dari perbuatan lain.
(Majjhima Nikaya II, Sutta no. 101).
Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan dunia, kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan jahat – maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Jataka VI : 208).
Buddha bersabda: “Ada Yang Tidak Terlahir, Yang Tidak Terjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak (Udana VIII:3).
Yang Mutlak = Asamkhata-Dhamma = Yang Tak Terkondisi.
Dengan adanya Yang Tak Terkondisi (Asamkhata), maka manusia yang terkondisi (Samkhata) dapat mencapai kebebasan mutlak dari samsara.
Dengan adanya hukum Dharma, unsur IMANEN dari Ketuhanan YME tidak lenyap sama sekali, namun ajaran Buddha menekankan unsur TRANSENDEN dari Ketuhanan YME.
Semua yang transenden adalah TIDAK TERKONSEPKAN, harus dipahami secara INTUITIF melalui PENCERAHAN, bukan melalui konsep.
Tuhan & Ajaran Sang Buddha
BERBICARA MENGENAI KONSEP, SEKILAS dalam benak kita terbayang teori-teori yang kental kaitannya dengan sesuatu yang diteliti, dikaji, diperdebatkan, dan juga diyakini. Dalam konteks artikel ini, konsep yang dibahas adalah tentang tuhan. Secara umum pandangan yang ada menganggap seseorang yang beragama pasti atau harus mempunyai ”satu Tuhan yang diakui”.
Konsep tuhan dari sudut pandang ini sangat jelas memersonifikasikan Tuhan, jadi tuhan dirupakan sebagai sosok atau makhluk seperti halnya manusia. Keyakinan akan konsep ini tentunya bukan sesuatu yang asing bagi kita, karena sejak kecil kita sudah mendapat modal yang kuat akan konsep tuhan sebagai makhluk adidaya yang mencipta alam semesta beserta seluruh isinya dari pendidikan di sekolah maupun lingkungan sekitar
kita.
Yang sulit adalah ketika kita mendapatkan kebenaran akan sesuatu konsep yang telah demikian lama mengakar dalam pikiran kita, bahwa konsep yang kita yakini selama ini ternyata keliru atau salah.
Sulitnya karena kemelekatan kita pada konsep tersebut (bahwa tuhan dipandang sebagai sosok atau pribadi pengatur dan pencipta alam semesta dan isinya) telah begitu kuat. Jika kemelekatan (keyakinan) kita terhadap konsep itu begitu kuatnya maka kita akan selalu menjadi pendebat seluruh konsep yang ada walaupun konsep yang lain mungkin menawarkan sudut pandang yang sebenarnya.
Lingkaran Parabel pikiran dan Tuhan
1. Pikiran Manusia diciptakan oleh ?? Jawabnya manusia
2. Manusia diciptakan oleh?? jawabnya Tuhan
3. Tuhan diciptakan oleh?? Jawabnya Tidak ada
4. Jawaban tidak ada diciptakan oleh?? Pikiran Manusia (back to no 1.)
Beberapa Kontroversi
Sejauh ini masih banyak yang mempertanyakan, dalam Buddhis itu tuhannya yang mana, bagaimana pula karakteristiknya. Mengapa pula dalam sutta-sutta ataupun ceramah Dhamma konsep tentang tuhan ini sangat jarang disinggung. Bagaimana sesungguhnya konsep mengenai Tuhan dalam Agama Buddha? Mengapa perlu membahas tentang konsep ini?
Menurut ahli-ahli di luar negeri, dikatakan bahwa agama Buddha dimasukkan sebagai agama yang Agnostik dan tidak mengenal tuhan pencipta. Selain itu, menurut para Atheis, dikatakan bahwa Buddhisme tidak bisa disebut sebagai agama karena tidak adanya tuhan dan segala macamnya, namun lebih cenderung ke filosofi. Sedangkan menurut historisnya, dikatakan bahwa di Indonesia, Walubi terpaksa menggunakan sebutan Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan dalam agama Buddha karena tekanan dari pemerintah.
jika kita berangkat dari perspektif netral. Tuduhan yang tidak bisa dibuktikan hanyalah berupa Fitnah belaka alias Klaim sepihak.
Sama halnya ketika umat Islam tidak bisa membuktikan lokasi dimana 'Injil yang asli' berada sebelum dipalsukan oleh Pengikutnya.
Ijinkan saya membagi sudut pandang saya,..... yang Sebelumnya
Agama yang ideal adalah agama yang logis, bisa dinalar dengan akal. Iman adalah awalnya…Pencarian dengan hati dan pikiran kemudiannya, untuk menambah ketebalan iman yang tadinya hanya diyakininya…. Agama ideal adalah agama dengan bukti-bukti kongkrit…
Sudut pandang saya saat ini.
Idealnya, IMAN bukan “awal”, tetapi “HASIL”.
Jika anda meletakkan “iman” di awal, sebagai permulaan, maka hasilnya adalah pembenaran. Dan inilah yang sering terjadi. “Iman” seperti tidak mau kalah dan salah. Maunya benar melulu, dan para penganutnya kerap kali melakukan standar ganda untuk mempertahankan keimanannya.
Jika anda meletakkan “iman” di awal, maka: apa yang menjadi dasar iman anda? Ini pertanyaan fundamental yang serius.
Yang benar itu: “iman” adalah hasil, letaknya di ujung.
Yang disebut dasar berpikir itu adalah: analisa terhadap realita. Inilah yang kemudian “diolah” sehingga ujung-ujungnya menghasilkan “iman” (atau tidak beriman) terhadap teologi tertentu (tergantung bagaimana “proses”-nya). Itu adalah alur pikir yang valid.
Bukan iman dulu, terus dicari-cari pembenarannya! Itu mah alur pikir orang awam!!!
Ok, sekarang kita masuk pokok bahasan Tuhan.
Jika bicara “Tuhan”, kita harus pahami dulu, di mana posisi pemahaman kita mengenai Tuhan, supaya tidak campur aduk. Apakah berada di wilayah “tuhan falsafati” atau “tuhan normatif”.
Yang saya maksud “tuhan falsafati” adalah tuhan dalam kerangka penalaran filsafat yang bersifat umum (general), logis (beralasan), dan “bebas nilai” (objektif). Filsafat tidak mengharuskan orang untuk percaya atau tidak percaya terhadap tuhan. Tuhan falsafati tidak membutuhkan “iman” sebagai modal untuk menerimanya, melainkan penalaran atau pemahaman. Tuhan falsafati tidak ada urusannya dengan apakah tuhan menyukai kebaikan atau tidak, atau kebaikan macam apa yang disukai tuhan.
Sedangkan “tuhan normatif” adalah tuhan dalam kerangka keimanan (teologi) tertentu yang bersifat “khas”.
Sebagai contoh: Agama Islam dan Kristen memiliki “tuhan normatif” yang berbeda. “Tuhan normatif” cenderung dipengaruhi nilai-nilai tertentu, seperti nilai-nilai kebajikan, kesusilaan, dan sebagainya yang dianut oleh subjek (manusia). Sehingga sah-sah saja ketika teologi tertentu mengatakan bahwa tuhan menyukai kebaikan dan membenci kejahatan, atau berbicara mengenai kebaikan macam apa yang disukai tuhan (di sini tuhan terlihat antropomorfis/ berpribadi, di mana tuhan menjadi subjek yang memiliki penilaian baik-buruk terhadap sesuatu). (karena pada dasarnya manusia itu mempunyai “norma”, maka manusia cenderung “menciptakan” tuhan yang “pro” dengan norma-norma mereka. Contoh sederhana, tuhan agama-agama semit cenderung “lelaki” karena lahir dalam budaya yang patriarkhis) .
Penjabaran Konsep Tuhan dalam agama samawi sebagai The Creator Of All
Tuhan Pencipta –The Creator- yang dimaksud itu adalah sosok makhluk tinggi yang maha kuasa dan maha pencipta, yang berpribadi, yang mengatur macem-macem
Terhadap pandangan ini, Sakyamuni Buddha bersabda,
“Jadi, karena diciptakan oleh seorang Tuhan yang maha tinggi, maka manusia bisa menjadi pembunuh, pencuri,
penjahat, pembohong, pemfitnah, penghina, pembual, pencemburu, pendendam dan orang yang keras kepala.
Oleh karena bagi mereka yang berpandangan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan seorang Tuhan, maka
mereka tidak akan lagi mempunyai keinginan, ikhtiar ataupun untuk menghindar dari perbuatan lain.
(Majjhima Nikaya II, Sutta no. 101).
Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan dunia, kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan jahat – maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Jataka VI : 208).
Buddha bersabda: “Ada Yang Tidak Terlahir, Yang Tidak Terjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak (Udana VIII:3).
Yang Mutlak = Asamkhata-Dhamma = Yang Tak Terkondisi.
Dengan adanya Yang Tak Terkondisi (Asamkhata), maka manusia yang terkondisi (Samkhata) dapat mencapai kebebasan mutlak dari samsara.
Dengan adanya hukum Dharma, unsur IMANEN dari Ketuhanan YME tidak lenyap sama sekali, namun ajaran Buddha menekankan unsur TRANSENDEN dari Ketuhanan YME.
Semua yang transenden adalah TIDAK TERKONSEPKAN, harus dipahami secara INTUITIF melalui PENCERAHAN, bukan melalui konsep.
Tuhan & Ajaran Sang Buddha
BERBICARA MENGENAI KONSEP, SEKILAS dalam benak kita terbayang teori-teori yang kental kaitannya dengan sesuatu yang diteliti, dikaji, diperdebatkan, dan juga diyakini. Dalam konteks artikel ini, konsep yang dibahas adalah tentang tuhan. Secara umum pandangan yang ada menganggap seseorang yang beragama pasti atau harus mempunyai ”satu Tuhan yang diakui”.
Konsep tuhan dari sudut pandang ini sangat jelas memersonifikasikan Tuhan, jadi tuhan dirupakan sebagai sosok atau makhluk seperti halnya manusia. Keyakinan akan konsep ini tentunya bukan sesuatu yang asing bagi kita, karena sejak kecil kita sudah mendapat modal yang kuat akan konsep tuhan sebagai makhluk adidaya yang mencipta alam semesta beserta seluruh isinya dari pendidikan di sekolah maupun lingkungan sekitar
kita.
Yang sulit adalah ketika kita mendapatkan kebenaran akan sesuatu konsep yang telah demikian lama mengakar dalam pikiran kita, bahwa konsep yang kita yakini selama ini ternyata keliru atau salah.
Sulitnya karena kemelekatan kita pada konsep tersebut (bahwa tuhan dipandang sebagai sosok atau pribadi pengatur dan pencipta alam semesta dan isinya) telah begitu kuat. Jika kemelekatan (keyakinan) kita terhadap konsep itu begitu kuatnya maka kita akan selalu menjadi pendebat seluruh konsep yang ada walaupun konsep yang lain mungkin menawarkan sudut pandang yang sebenarnya.
Lingkaran Parabel pikiran dan Tuhan
1. Pikiran Manusia diciptakan oleh ?? Jawabnya manusia
2. Manusia diciptakan oleh?? jawabnya Tuhan
3. Tuhan diciptakan oleh?? Jawabnya Tidak ada
4. Jawaban tidak ada diciptakan oleh?? Pikiran Manusia (back to no 1.)